Alhamdulillahirabbil
Alamiin, sederet pujian terlimpahkan untuk Mu, Rabb, atas segala nikmat yang
diterima hingga detik ini hingga sebuah nikmat perjalanan yang kini
mendamparkan diri ini di sebuah negeri yang tak terfikirkan sebelumnya. Tak akan
ada nilai yang mampu membayar deretan nikmat yang Kau berikan tak terkecuali
sebuah nikmat berupa rentetan pertemuan yang menyejukkan hati beberapa waktu
lalu di negeri ini.
Saya
ingin berkisah sebuah pertemuan, yang sepertinya sayang kalau tidak terungkapkan
dan terdokumentasikan di blog curcol ini,hehehe. Selain karena kisah yang ingin
saya ceritakan adalah sebuah kisah yang saya yakini akan membekas sepanjang
usia saya juga dikarenakan kisah ini membuat kesan mendalam
tentang penilaian karakter orang-orang di Negara ini, setidaknya bagi saya
pribadi dan juga mungkin bagi anda. :)
Alkisah
pada suatu masa (tentunya pada saat libur aktivitas perkuliahan :) ), saya melanjutkan
hobi yakni keluyuran dan kelayaban ga
jelas dengan harapan memetik hikmah dari setiap langkah yang ditempuh dan mengambil
kesejukan dari setiap senyum yang terlihat dari bibir-bibir orang sepanjang
kelayaban yang saya lakukan.hehe. Tepatnya waktu perjalanan yang saya tempuh
kala itu adalah ketika libur chuesok. Chuesok merupakan hari libur nasional Korea
yang lumayan panjang sehingga aktivitas mobilisasi orang Korea pada saat libur
ini sangat tinggi. Hal ini semakin membuat saya sumringah karena saya yakin
ketika masa-masa seperti ini saya akan menemukan momentum yang mirip dengan hajat
tahunan di Indonesia, yakni “mudik”. Mengapa saya merasa sumringah?? Karena
pada saat itulah kita akan bertemu dengan banyak orang, disaat itu pula kita
akan mendapati kepadatan aktivitas orang sehingga kita bisa belajar bagaimana
setiap individu bertindak dalam menyikapi kondisi seperti itu. Terkadang,
ketika di Indonesia dulu, saya malah menikmati
kondisi macet, kondisi berebut dan kondisi lainnya yang membuat kita
seperti tidak nyaman. Tetapi dalam ketidaknyamanan itu kita akan dipertemukan
dengan orang-orang yang senasib dengan kita, kita juga akan belajar bagaimana
setiap orang menghadapi situasi itu, bahkan tidak jarang saya menemukan teman
diskusi yang menarik pada saat-saat seperti ini. Aaah selalu ada makna yang
tersimpan dari setiap macam tindakan, karea hidup adalah penyikapan.
Dan
bayangan saya terkait aktivitas liburan chuesok itu pun benar, saya awali
keberangkatan saya dengan tidak mendapatkan ticket tempat duduk kereta ke Kota
Seoul sehingga duduk di gerbong antara (lebih tepatnya di gerbong dekat
toilet.hehehe, tapi anehnya saya menikmati kondisi itu, mengingatkan “perjuangan”
naik kereta ekonomi dari Cirebon-Jakarta tempo doeloe :D ). Kurang lebih perjalanan 5
jam saya lalui dengan membaca-baca lembar demi lembar tulisan yang saya bawa,
sesekali menengok handphone dan berharap dapat sinyal wifi ^^ sembari
memperhatikan beberapa penumpang lainnya yang bernasib sama, tidak mendapatkan
ticket duduk, yang terlelap tidur atau orang lainnya yang sibuk menghias
wajahnya dengan bedak dan ginju. Aaah ingin rasanya ketika itu menyapa
orang-orang tersebut dan membuat percakapan ringan seperti di kereta-kereta
ekonomi yang saya naiki dulu di Indonesia, tapi apa daya penguasaan bahasa yang
masih minim hanya menghasilkan senyum ketika mata kami saling bertegur
sapa.hehe
Selepas
sampai di Seoul cerita pertama tentang pertemuan yang menggugah ini pun di
mulai (laaah baru mulai?? Yang atas apaan?? “Introduction”hehe). Pertemuan saya
yang pertama adalah dengan seorang kakek di Masjid terbesar di negeri ini.
Masjid Itaewon namanya. Masjid tersebut terletak diantara gemerlap pusat kota
dan aktivitas hingar bingar dunia malam, ya masjid ini bersebelahan dengan
puluhan Bar dan puluhan “motel plus-plus” jangan heran kalau anda pergi ke
masjid Itaewon pada saat shubuh, seperti saya kala itu, hampir pasti anda akan
berpapasan dengan puluhan orang dengan kondisi setengah sadar akibat alcohol
berbondong-bondong baru keluar dari Bar-Bar disana. Sebuah tempat yang saya
bayangkan akan menjadi cerita sejarah yang manis seandainya kultur islam dapat
merubah daerah tersebut. Semogaa.Aaamiin.
Di
Itaewon itulah saya bertemu dengan seorang Kakek yang bernama Muhammad, seorang
muslim Korea asli yang telah melafalkan lafadz syahadatain 4 tahun silam. Dalam
perbincangan kami (dengan bahasa Korea saya yang terbata-bata) beliau
menuturkan alasan masuk islam dikarenakan kebosanannya hidup dengan gaya “ala
orang korea” yakni mengakhiri aktivitas atau membunuh stress dan kejenuhan
dengan meminum soju dan minuman memabukkan lainnya. Di dalam islam ternyata
beliau menemukan jawaban “kegelisahan”nya dan hingga hari ini beliau mengabdikn
diri sebagai salah satu penjaga masjid Itaewon. Di akhir perbincangan kami
beliau mengajak saya sarapan bersama. Sebuah ajakan yang menyentuh karena ini
kali pertama saya bertemu dengan beliau. Akhirnya di ujung pertemuan kami, saya
pun memohon izin untuk foto selfie bersama, berikut penampakannya :D :
Saya dan Mr.Muhammad |
Setelah
kelayaban ke beberapa spot di Seoul
dan kota-kota terdekat di sekitarnya, saya lanjutkan perjalanan membelah negeri
ini dengan kelayaban ke kota bagian ujung selatan Semenanjung Korea, yakni ke Kota Busan. Dalam
perjalanan ke kota Busan inilah saya menemukan pertemuan menggugah kedua dalam
rangkaian perjalanan libur chuesok ini. Yaa, di dalam gerbong kereta mugunghwa
itu saya bertemu dengan Ibu-Ibu berparas seperti foto di bawah ini:
Ibu yang baik hati^^ |
Perjalanan
menuju Busan, tidak sama dengan perjalanan menuju Seoul, karena Alhamdulillah saya
mendapatkan ticket tempat duduk. Ketika duduk inilah saya bersebelahan dengan
ibu tersebut. sayangnya ketika saya membuat tulisan ini, saya sudah lupa nama
beliau.hehe. Yang jelas saya ingat, beliau mempunyai 2 orang anak. Satu anak
laki-laki yang masih kuliah dan satu anak lagi perempuan yang berprofesi
sebagai guru TK. Adalagi hal lain yang saya ingat dari beliau, beliau ketika
itu habis pulang berkunjung ke Kota lain, beliau memperlihatkan foto beliau
dengan anak perempuannya, si gadis
pendidik anak-anak TK. :D. Ada suasana yang sangat membekas dalam perbincangan
kami, yakni karena keterbatasan penguasaan bahasa korea yang saya miliki dan
keterbatasan bahasa inggris Ibu tersebut, kami menggunakan kamus sebagai bahan
kami berbincang…aaah sangat lucu untuk menuntaskan satu tema perbincangan kami
memerlukan waktu yang tidak singkat.hahaha Hal lain yang membuat saya kagum
adalah ketika diakhir perbincangan kami, karena Ibu tersebut berhenti di
stasiun yang lebih awal dibandingkan dengan saya, dia izin turun duluan,
sebelum turun dia memberikan hadiah kepada saya sebagai tanda kasih sayang Ibu
kepada Anak. Aaaaahhhh terharu sekali saya megingat moment itu. Orang yang baru
beberapa saat saya kenal tetapi begitu baik sikapnya hingga memberikan sebuah
hadiah. Terimakasih Omonii :)
Dua
pertemuan itu seakan mematahkan "mitos" yang saya bawa ke negeri ini hasil dari
membaca di berbagai tulisan ketika masih di Indonesia dulu, yang mengatakan
bahwa “kaum tua” di Korea adalah generasi yang belum open mind, mereka cenderung tidak ramah dengan para pendatang.
Sekali lagi opini itu terpatahkan oleh runtutan pertemuan menggugah yang saya
alami beberapa waktu lalu. Saya berasa seperti berada disekitar saudara-saudara
sendiri yang memperlakukan saya dengan begituuu sangat baik. Oooh Muhammad
Ajosi dan Omonii semoga kesehatan dan segala kebaikan terus menyertai kehidupan
yang Bapak dan Ibu jalankan. Semoga kita dipertemukan kembali suatu saat kelak. :)
Komentar
Posting Komentar