Dalam
sebuah perjalanan pasti ada awal dan akhir, pun begitu pula dengan perjumpaan
(katanya) pasti ada akhirnya, maka saya juga yakin dalam sebuah tindakan ada
awal dan ada akhir. Awal dalam sebuah tindakan adalah pengharapan dan akhir
dari sebuah tindakan adalah syukur atau penyesalan, bergantung pada hasil yang
didapatkan. Saya pernah merenung tentang
makna syukur dalam sebuah tindakan, hingga proses renungan itu membawa pada
sebuah muara yakni tidak ada yang lebih membahagiakan daripada mengatakan
terimakasih atas apapun yang kita terima. Artinya seyogyanya,semestinya dan
seharusnya akhir dari sebuah tindakan tidaklah bercabang menjadi syukur atau
sesal tetapi cukup satu yakni Syukur.
Namun, secara manusiawi mensyukuri setiap apa yang diterima tidaklah
mudah atau memerlukan proses. Proses untuk meyakinkan hati bahwa yang diperoleh
adalah terbaik untuk kita. Maka dari itu dalam berproses untuk selalu berucap
syukur akan ada terselip sebuah kata yang bernama penyesalan terutama dalam akhir sebuah tindakan. Yah penyeslan
inilah yang kalau boleh saya bahasakan sebagai sifat manusiawi.
Menyesal
bisa terjadii setidaknya karena dua sebab, pertama karena kita tidak bersyukur atas
yang didapatkan tersebab besarnya ekspektasi kita atau yang kedua karena adanya
proses yang salah dalam merencanakan sesuatu. Menjadi sangat tidak produktif
jikalau penyesalan itu merembet menjadi sebuah bola panas dengan mencari-cari
sebab salahnya dan menumpahkanya kepada orang lain. Tidak jarang saya dan
(mungkin juga anda) mencari kesalahan orang lain atas sesuatu (yang kita sebut)
kegagalan yang kita dapatkan. Maka dalam posisi menyesal seperti ini,
peribahasa “semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak”
akan menemukan kebenarannya.
Menyesal
tidak selamanya menjadi sebuah hal yang negatif bahkan kadang menyesal
diperlukan oleh kita sendiri. Jika kita mengenal kata taubat maka inti dari kata
taubat adalah sikap menyesali. Berbeda dengan menyalahkan orang lain, konsep
menyesal (taubat) adalah menyalahkan apa yang terjadi (kegagalan) terhadap diri
sendiri. Sehingga dalam proses penyesalan itu ada evaluasi diri, ada pencerhaan
terhadap sisi-sisi gelap yang kita miliki, dan tentunya akan ada niatan yang
muncul untuk merubah diri menjadi lebih baik. Penyesalan seperti ini jika boleh
saya ibaratkan seperti kita menuliskan sebuah catatan dalam selembar kertas
putih kemudian kita salah menuliskan huruf atau angka sehingga kita memperbaiki
dan menghapusnya dengan correction pen
(tipe x), proses penghapusan/peng-koreksian inilah seperti sebuah penyesalan
yang berwujud pada perbaikan.
Pertobatan
(penyesalan) dalam konsep agama islam juga sangat menarik untuk dikaji. Pernah
suatu ketika saya mendengar sebuah ceramah agama tentang makna “tauaabiinaa” yang banyak terdapat dalam
ayat-ayat Al-Quran dan biasanya diterjemahkan dengan makan “orang-orang yang
bertaubat”. Salah satu contoh ayat yang lekat di otak saya adalah “ Innallaha yuhibbuttaubinaa…” yang
artinya “Allah mencintai orang-orang yang bertaubat…”. Makna orang-orang
bertaubat disini lebih mudah dipahami sebagai sebuah kata jamak (banyak orang
bertaubat) namun dalam ceramah tersebut disampaikan bahwa makna “tauaabiinaa” bukanlah menunjukkan makna
jamak terhadap jumlah orang tetapi makna jamak terhadap banyaknya taubat
yangkita lakukan.
Konsep hidup orang yang ingin berubah lebih baik |
Makna
banyaknya taubat yang kita lakukan bisa dimengerti sebagai banyaknya penyesalan
yang kita lakukan dan itu berarti selaras juga maknanya dengan banyaknya
kesalahan yang kita perbuat dan kita menyesali kesalahan tersebut. Jikalau kita
satukan denga ayat “ Innallaha
yuhibbuttaubinaa…” maka bisa diartikan “Allah
mencintai orang-orang yang selalu berbuat kesalahan dan selalu menyesali
kesalahan itu..”. Bisa jadi kalimat tafsir
slank-ean saya tadi seolah-olah membenarkan untuk kita berbuat
kesalahan tetapi saya katakana ada hal lain yang perlu kita ketahui pula yang
pertama adalah sifat manusia “Al-insanu
makhalul khoto wannisyaan” (Manusia adalah tempat salah dan lupa). Dari
penerjemahaan sifat manusia ini dan jika
kita kaitkan dengan konsep “tauabiinaa”
maka kita jelas mengetahui bahwa Allah memberikan sebuah ruang bagi manusia
untuk dicintai oleh-Nya melalui apa yang dia miliki (berbuat lupa dan salah)
dengan jalan taubat. Catatan kedua tentang makna salah dan lupa dalam konteks ini adalah bukan kesalahan yang
sama, karena kita juga paham bahwa hanya orang yang bodoh dan berpura-pura
menyesal (taubat) yang melakukan kesalahan yang sama persis.
Jikalau
kita ibaratkan dengan perumpamaan menulis di sebuah kertas kemudian di-koreksi dengan menggunakan tipe x maka kesalahan penulisan yang sama di tempat yang
sama hanya dilakukan oleh orang bodoh atau tidak memiliki niat untuk memperbaiki.
Oleh karena itu saya sepakat sekali dengan tafsir slank-ean ini karena Allah begitu
mengerti sifat manusia yang (sering) jatuh dalam kesalahan namun memberikan
ruang untuk bangun dan bangun lagi dari kesalahan yang dilakukan. Semoga kita termasuk ke dalam orang-orang yang selalu bertaubat (dan bertaubat teruus) atas segala kesalahan kita. Aamiin
Komentar
Posting Komentar