Pagi
ini hampir sama dengan pagi-pagi sebelumnya, bangun tidur langsung menuju kamar
mandi dilanjutkan dengan sedikit berberes-beres sekitar kamar tidur dan ruang
tamu dan kemudian “cabut” ke kampus, tepatnya ke laboratorium, tanpa memikirkan
dulu mau sarapan atau tidak, karena jam sudah menunjukkan batas maksimal target
mencapai laboratorium.hehehe. Yang berbeda di pagi ini dengan pagi-pagi
sebelumnya di Bulan September adalah udara yang sudah lumayan dingin dan cukup
menggigit kulit sehingga menggunakan kaos tebal dan jaket tipis adalah pilihan pakaian yang
paling cocok untuk pagi ini.
Hal
berbeda lain yang saya alami pagi ini adalah ketika melihat burung Black-Billed Magpie (Pic hudsonia) yang (katanya)
merupakan burung khas Korea dan dipercaya sebagai burung pembawa keberuntungan,
yang berterbangan di tiang listrik, di
pepohonan bahkan di rerumputan sepanjang jalan menuju Laboratorium. Mata saya
terkunci pada aktivitas burung-burung itu yang meloncat genit seakan
sedang menari dan bersenandung tentang
kebebasan dan kesegaraan pagi ini. Tetapi fikiran saya kemudian meloncat jauh
menembus jarak dan batas waktu. Tetiba saya membayangkan alam Indonesia, saya
membayangkan kebun di belakang Rumah, saya membayangkan pematang sawah dan
hutan-hutan yang pernah saya jelajahi di Indonesia serta tak ketingglan rumah
paman dan teman-teman yang hobi memelihara hewan peliharaan di rumahnya, melintas
dikepala saya pagi ini begitu cepat dan begitu jelas nuansanya.
Burung Black Billed Magpie |
Ya,
walaupun mata tak mau lepas dari pemandangan yang sejuk dan sangat berasa asri
tapi fikiran-fikiran itu muncul dan berujung kepada pertanyaan “Kenapa di Negara
saya, yang katanya ribuan species burung hidup di dalamnya, saya tidak pernah
melihat burung yang menari-nari sebebas dan sebahagia itu? Kenapa?” kemudian melompat lagi fikiran saya pagi ini dengan membayangkan sebuah aktivitas rutin yang
dilakukan hampir setiap pagi oleh para pemilik hewan peliharaan, melihat
peliharaanya sambil mengecek wadah pakan dan minum serta kebersihan kandang
hewan peliharaanya. (Katanya) Sebuah wujud tanda cinta “majikan” terhadap
peliharaannya. Tapi apakah benar cinta itu seperti itu? Mengurungnya dalam
kandang?
Tak
terbendung pula perasaan ingin mengajak Paman , Sepupu, teman-teman, tetangga
serta para panjual burung dan hewan peliharaaan yang pernah saya temui di
jalanan dan di pasar-pasar untuk berdiri bersama saya di pagi ini untuk melihat
suasana ini. Untuk merasakan asri nya pagi yang di hibur dengan senandung para
burung yang menyanyikan lagu kebebasan.
Ya,
saya belum menemukan kenapa di negeri saya orang lebih suka “mengandang” burung
dan menikmati jeritan ketidakberdayaannya daripada menikmati lantunan kebebasan
yang terucap begitu tulus dari burung-burung itu di pagi hari di atas pepohonan
atau di rerumputan. Saya juga belum menemukan jawaban kenapa pemerintah
Indonesia tidak membuat peratuarn untuk melarang setiap warga negaranya memenjarankan
binatang, karena menurut saya binatang pun memiliki hak untuk bebas layaknya
manusia.
Aah,
akhirnya saya teringat pula akan nasehat kakek belasan tahun lalu yang
memberikan sebuah wasiat bagi saya untuk bersikap bijak pada alam. Dua nasehat
yang sampai hari ini saya pegang dan saya coba jalankan “Tanamlah pohon sebanyak mungkin, kalaupun kau tak menikmatinya anak
cucumu pasti kebagian berkahnya dan jangan kau memelihara binatang kecuali kau
menjamin kebebasan dan hak-hak syahwatnya (makan, minum, kawin dsb) terpenuhi”
Aaaahhh
black-billed magpie di sekitaran Taewang
Apate, kau memberikan pelajaran bagiku pagi ini. Terimakasih.
Komentar
Posting Komentar