Siang bolong di tengah terik matahari yang menyengat kulit
dan mengeringkan setiap jemuran pakaian di pelataran rumah kala itu, menjadi
waktu pengasahan bagi kami, saya dan beberapa anak kampung Kenanga. Ya, disaat
panas yang sangat cocok untuk dibuat alasan tidur nyenyak di siang hari, di
usia 9-12 tahun kala itu, saya dan teman-teman harus bergegas berjalan menuju
tempat pembelajaran selanjutnya. Pembelajaran selanjutnya? Ya, pemebelajaran
setelah pulang dari Sekolah Dasar (SD). Kami menyebut nya Madrasah. Madrasah
menjadi sekolah selanjutnya setelah dari pagi kami menghabiskan waktu dengan
celana merah dan baju putih kami.
Masa itu, bukan lah masa yang terhitung mudah bagi anak usia
9-12 tahun karena godaan untuk pergi ke lapangan untuk bermain bola atau sekedar
bermain layang-layang bersama tetangga dan kerabat sangatlah besar .Pun dengan
jam belajarnya, 6 hari dalam seminggu dan hanya memiliki waktu libur di hari
Jumat, jadi jangan pernah berharap berleha-leha dihari minggu yang di dalam
kalender selalu berwarna merah :). Bagi saya, mungkin hanya karena tambahan uang jajan
sebesar 500 rupiah yang membuat saya kuat melawan godaan tersebut.hehehe
Bersekolah madrasah juga menjadi tantangan di masa itu
karena tempat yang jauh dan teman yang tidak banyak. Untuk mencapai Madrasah,
saya harus berjalan antara 20-30 menit. Perjalanan
yang tidak menjenuhkan sebenarnya kalau dilakukan beramai-ramai khas anak-anak,
tapi karena teman yang memiliki kesamaan hanya satu orang, maka terkadang
menendang-nendang batu di jalan adalah hiburan untuk membunuh kejenuhan atau
terkadang karena rasa jengkel yang
timbul akibat keterpaksaan berangkat
madrasah setelah capai di SD.hehehe
Jikalau mengenang masa itu maka ada dua sosok yang akan saya
kenang yakni teman (- teman) dan guru (-guru). Karena sedikit nya jumlah teman seperjuangan maka kedekatan kami pun
sangat berasa setidaknya bentuk kedekatan itu mengalir ketika dalam doa-doa
terbayang wajah-wajah mereka. Pun begitu dengan guru-guru, saya akan “merinding”
jika mengenang jasa-jasa guru yang mengenalkan kami terhadap pondasi-pondasi
keagamaan.( Ohya, saya lupa bercerita, bahwa pelajaran yang kami dapatkan di
Madrasah adalah ilmu keagamaan).
Walaupun tak seberat ini jalan yang dilalui tetapi godaan untuk tidak berangkat madrasah tak kalah besar |
Moment dididik dengan pola seolah-olah “keterpaksaan” dalam menjalaninya
ternyata membuahkan hasil berupa sifat kesabaran,
bahkan rasa hormat kepada siapapun orang yang berilmu , saya akui hasil dari
proses pengasahan ini. Dan pastinya rasa ta’dzim
saya akan proses ini bermuara pada kedua orang tua saya, yang begitu visioner
mendidik anaknya untuk selalu belajar dan jangan pernah terbawa oleh arus
lingkungan yang lebih mementingkan kesenanangan sesaat dibandingkan keuntungan
yang hadir dikemudian hari.
Itulah unek-unek jujur yang mengalir begitu saja dari hati ketika
mengenang menjalani proses itu. Proses yang berhasil dijalani
selama 4 tahun dan merupakan proses yang lumayan panjang dengan menorehkan banyak sekali
cerita dan kenangan. Sejujurnya kenangan itu pula yang ternyata saya rasakan
sekarang seperti sebuah bahan bakar yang selalu menghidupkan mesin-mesin mimpi saya
ketika kinerjanya telah melemah.
Curcol ini saya tulis dan dipublikasikan ke blog ini karena
sejujurnya terkenang dengan teman-teman seperjuangan dulu yakni Ubaidillah (sepupu
terbaik saya yang selalu menjadi alasan bagi saya untuk selalu rajin, yang
ketika tulisan ini dibuat sudah menjadi bapak , Selamaat :D), Ikhwan (kawan
terkece, yang sampai hari ini kita masih saling curcol bersama), Khoiruddin
(partner satu meja yang selalu saya rindukan kecadelan mengucapkan “R” nya.hehe),
Mamad, Azies dan Jafar (walaupun kalian tidak sampai selesai menjalani proses ini tapi kita pernah mengalami asyiknya
bermain bola bareng di jam istirahat madrasah), Nuryani (cewek pemalu tapi
kalau saya bertanya pasti punya jawabannya), Dewi (Yang kala itu jadi primadona
dan jembatan kami untuk menghadapi Ibu Mas .hahaha), Paris, Wiya, Nurlaela, Mursi,
Lisa, Dodi, Garah, dll yang begitu samar-samar wajah dan senyumannya dalam
ingatan saya.hehe. Apapun kegiatan kita sekarang, siapapun kita sekarang dan
dimanapun kita berada sekarang, semoga kita terus bersemangat dan bergembira
seperti waktu itu dan yang penting adalah selalu mengamalkan ilmu-ilmu yang kita
dapatkan dulu dari guru-guru kita. Aaamiiin :D
*Sayang waktu itu kita belum familiar dengan namanya foto
jadi aktivitas kita tidak ada yang terdokumentsikan di cermin besi itu. :D
Komentar
Posting Komentar