Imlek Tanpa
Gusdur. Ini bukanlah cerita tentang saya yang merayakan imlek, karena saya
bukanlah orang Tiong Hoa. Bukan juga cerita berlibur saya di hari Imlek, karena
bagi saya libur imlek yang ditandai dengan warna merah pada lembaran almanac adalah
hari libur seperti biasanya atau kalau boleh dikatakan adalah hari libur yang tidak
begitu banyak memiliki arti bagi saya karena (sekali lagi) selain saya bukan
orang Tiong Hoa sayapun tidak begitu paham terkait dibalik arti sebuah imlek.
Tapi judul ini adalah sebuah judul dari sebuah buku yang pernah saya baca dan
menjadi sebuah bacaan yang sempat membuat mata saya harus kuat menahan untuk
tidak mengeluarkan airnya.
Entah sebuah hal
yang berlebihan atau tidak tetapi perasaan haru dan bangga pada sifat dan
karakter seorang Gus Dur, terutama ketika membaca artikel di buku ini
menyebabkan keinginan saya untuk mengungkapkan dan menceritakan perasaan ini.
Dalam
buku tersebut, tepatnya di artikel yang ke 8 yang dimulai dihalaman 31 yang
berjudul “Imlek Tanpa Gus Dur” yang juga kemudian dijadikan Judul dari buku
tersebut, penulis yang merupakan asli etnis Tiong Hoa dan juga non-muslim
bercerita betapa dia yang tidak pernah bertemu dengan sosok seorang Gus Dur
merasakan dan mengaggap Gus Dur adalah
sosok ayah baginya. Sebuah anggapan
dan mungkin keinginan yang muncul dari orang tersebut karena betapa besar jasa
Gus Dur dalam menspesialkan sebuah hari special bagi Etnis Tiong Hoa yakni
Imlek. Ya, di Era Gus Dur ketika menjabat menjadi presidenlah hari Imlek
dinyatkan sebagai Hari libur nasional dan begitu diperingati dengan meriah
disegenap penjuru negeri ini ketika hari ini datang.
Sebuah kegembiraan
yang menurut penulis artikel itu tidak pernah dia dapatkan selama bertahun-tahun
karena ditahun-tahun sebelumnya dia hanya merayakan imlek secara sembunyi-sembunyi
dan tanpa ada hingar bingar imlek walau hanya sekedar hiasan lampion dan
kertas-kertas warna merah khas hari Imlek. Pun begitu dengan aksi kesenian
etnis china, Barong Sai, dulu dia hanya mampu menyimaknya di tayangan- tayangan
TV atau video karena “keterlarangan” kesenian itu ditampilkan di negeri in.
Namun semuanya menjadi berubah ketika gus Dur menetapkan sebuah hari libur
nasional.
Sampai disini
saya mulai tertegun dan mulai menguatkan mata untuk tidak meneteskan air mata
ketika membaca kalimat-kalimat yang tertulis begitu jujur oleh penulis dalam
artikel tersebut. Sebuah ketulusan dalam menyampaikan rasa terimakasih kepada
sosok Gus Dur. Sebuah jasa yang memang begitu besar pernah di ukir oleh Gus
Dur.
Saya sendiri
sebenarnya bukanlah orang yang selalu setuju dengan apa yang difikirkan atau
dilakukan oleh Gus Dur karena memang apa yang dilakukan oleh Gus Dur terkadang
bertentangan dengan mainstream kebanyakan orang dan terkadang controversial juga.
Namun, saya memitik sebuah pelajaran bahwa ketidak cocokan saya dengan ide-ide
atau tingkah laku Gus Dur lebih disebabkan bukan karena salahnya pilihan Gus
Dur tetapi karena ketidak dan kebelum pahaman saya terhadap pola pikir yang
dilakukan oleh Gus Dur oleh karena itu belajar untuk bisa memahami Gus Dur
adalah salah satu step yang harus saya pelajari terlebih dahulu.
Terlepas dari
itu semua, Gus Dur memanglah sosok yang fenomenal dan tak habis untuk jadi
bahan obrolan dan kajian mulai dari obrolan tingkat warung kopi, santri-santri
hingga seminar dan symposium-simpoasium nasional dan internasional meskipun
raganya kini sudahlah tidak bersama kita lagi. Salam Gus..Alfaatihaa
Komentar
Posting Komentar