Langsung ke konten utama

Sekolah Kepemimpinan Stratejik (3): Militer Vs Sipil di Indonesia

Membaca judulnya sepertinya agak menyeramkan ”Militer Vs Sipil” seperti membayangkan sebuah perang dengan satu pihak bersenjata lengkap dengan panser-pansernya dan dipihak lain hanya bermodalkan parang, bambu bahkan mungkin cuma batu. Memang tulisan ini saya sajikan sebagai sebuah paradigma pertentangan atau pertarungan antara masyarakat sipil dengan militer tetapi tidak dalam ranah perang seperti yang coba diilustrasikan di awal. Kalaulah konteks perseteruan/Versus antara militer dan sipil itu dalam ranah perang bersenjata saya akan menjadi orang pertama yang akan mengatakan bahwa sipil menjadi pihak paling tertindas dan memastikan diri bahwa mereka akan kalah, setidaknya jika dilihat dari segi jumlah korban. Dan semoga kejadian seperti itu tidaklah pernah terjadi di Indonesia. Cukuplah kasus Cebongan menjadi kasus terakhir “kekejaman” militer terhadap sipil. Tidak terbayangkan jika konflik seperti yang terjadi dalam pertumpahan darah di Mesir terjadi juga di Indonesia. Sekali lagi semoga ini tidak terjadi.
Dinamika pertarungan antara Militer Vs Sipil yang menarik untuk dibahas adalah “pertarungan sehat” untuk mendapatkan kekuasaan. Kita pastinya sudah paham tentang sistem pemerintahan yang otoriter, yakni pemerintahan yang diatur sangat keras dengan komando satu arah dan cenderung adanya pemaksaan. Sistem yang berlawanan dari sistem otoriter ini adalah sistem demokrasi, sistem yang menganut kebebasan dan menjunjung tinggi Hak Azasi Manusia (HAM) sebagai instrument penting di dalamnya. Dalam pertarungan antara Militer dan Sipil , militer dalam catatan sejarah diberbagai negara adalah kelompok yang cenderung dalam kepemimpinannya menerapkan sistem militer sedangkan sipil adalah bagian yang selalu memperjuangkan sistem demokrasi untuk diselenggarakan dalam menjalankan sistem negara.
Di Indonesia sistem yang dinilai otoriter pernah terjadi ketika era Orde Baru (OrBa), kecenderungan paling terlihat dari otoriternya rezim orba adalah pada aktivitas pemilihan umum (Pemilu), ada sebuah kejadian yang sangat mencengangkan pada pemilu 1997 dimana di provinsi Timor Timur hasil pemilu memenangkan partai penguasa yakni partai Golkar hingga 100% sehingga hasil ini harus dianulir karena akan menyebabkan tidak berjalannya sistem pemerintahan yang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku ketika itu, yakni mengharuskan legislatif setidak-tidaknya harus diisi oleh perwakilan dari partai lain yakni PPP dan PDI. Hasil pemilu yang mencapai 100% adalah bukti nyata betapa tangan-tangan penguasa dalam hal ini militer begitu sukses berperan bahkan bisa dikatakan over succsess

Hari ini, Indonesia telah mengalami proses perubahan sistem kepemimpinan. Struktur otoriter yang telah berjalan selama lebih dari 30 tahun digantikan dengan sistem demokrasi yang berawal di tahun 1998 melalui gerakan reformasi. Demokrasi yang berjalan di Indonesia merupakan hasil dari upaya sipil dalam melawan kekuatan otoriter yang digawangi oleh militer. Demokrasi yang sekarang dirasakan di Indonesia dinilai masih berada dalam tahapan penyusunan mencapai demokrasi yang ideal. Di dunia ini, negara yang dinyatakan sebagai negara yang telah berhasil menerapkan demokrasi secara ideal adalah United State of America (USA).  Amerika dalam perjalanan menuju demokrasi yang ideal ternyata tidaklah mulus – mulus saja, karena mereka harus melaluinya dengan berbagai masa diantaranya masa dimana ketidakadaan hak pilih bagi wanita, masa perbudakaan hingga masa peperangan saudara. Rentang waktu yang dibutuhkan USA untuk mencapai demokrasi ideal pun relatif lama yakni 120 tahun semenjak dideklarasikannya kemerdekaan negara tersebut. Dalam sebuah penelitian dikemukakan bahwa sebuah negara dinilai akan mencapai tahap ideal dalam berdemokrasi setidaknya membutuhkan waktu 200-300 tahun untuk menyusunnya. Dalam study lain dijelaskan bahwa demokrasi dapat diraih secara ideal dengan melalui 7 kali pemilihan umum dimasa demokrasi. Jika kita gunakan hasil penelitian ini kedalam sejarah Indonesia maka demokrasi ideal yang dapat dirasakan di indonesia adalah ditahun 2145 (1945 +200) atau 2024 ( 1999 + 5 x7). Perjalanan yang sepertinya sangat panjang untuk mencapai sebuah keidealan dalam proses bernegara.
Kembali ke tema tentang pertarungan Sipil Vs Militer di Indonesia, di era reformasi seperti sekarang ini militer indonesia bagaikan sebuah naga yang sedang menyembunyikan api dan cakar yang dimilikinya. Hal ini merupakah hasil dari upaya yang coba dilakukan oleh sipil dari gerakan reformasi tahun 1998 hingga sekarang yang mencoba mengikis peranan militer dari tugasnya diluar keprofesionalnya sebagai seorang militer. Ciri militer yang profesional adalah militer yang memiliki Paham humanisasi, tidak berpolitik dan tidak berniaga. Masih segar diingatan kita dengan istilah Dwifungsi ABRI pada era orde baru dimana ABRI memiliki fungsi sebagai militer dan juga legislatif (berpolitik). Dengan peran ganda ABRI (militer) kita merasakan sendiri betapa militer mendominasi jalannya pemerintahan diberbagai sektor publik dan berdampak pada rentannya penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh militer tersebut.
Yang menarik lagi terkait pertarungan Sipil Vs Militer adalah upaya-upaya apa saja yang dilakukan oleh sipil untuk “mengembalikan” fungsi militer ke tugasnya yang sesuai agar tercipta negara yang demokratis dan terhindar dari kepemimpinan yang otoriter. Menurut Pak Andi Widjajanto, setidaknya ada dua gelombang besar sipil yang mencoba “mempengaruhi” kekuatan militer yakni gelombang yang bersama Polisa dan gelombang yang bersama mempengaruhi TNI. Di gelombang yang mempengaruhi TNI ada dua kekuatan yang coba disusun yakni kekuatan yang mencoba mengontrol dari luar dan kekuatan yang coba mempengaruhi dari dalam. Kekuatan yang mencoba mengontrol dari luar menurut beliau ada dalam tubuh-tubuh LSM seperti KONTRAS dan lembaga-lembaga lain yang bereperan mengawasi, mengkritisi dan mencoba mepraperadilkan tindak-tanduk militer yang melanggar atau diluar tugas semestinya. Sedangkan unsur dari dalam yang mencoba mempengaruhi militer terdiri dari para akademisi yang melakukan beberapa aktivitas pembatasan peran militer dengan sewajarnya melalui mekanisme konstitusi yakni pembuatan Undang – Undang yang mengatur kemiliteran. Selain itu, upaya para akademisi dalam mempengaruhi militer juga dilakukan direct ke jantung militer yakni melalui kurikulum pengajaran pendidikan militer.
Pertarungan militer dan sipil sepertinya sangat menarik untuk selalu kita perhatikan khususnya di negara kita ini, karena kepentingan untuk berkuasa selalu ada dan tumbuh dari kedua bela pihak. Sistem otoriter dengan militer sebagai otak pelaksana yang pernah menjadi bagian dari sejarah negara ini sepertinya tidak ingin diulang kembali, begitu pun jika melihat dari sisi militer  yang mencoba menjadi militer profesional tetapi tetap saja suatu saat bisa kembali menyemburkan api dan mengeluarkan cakarnya untuk memaksakan kekuasaan di negeri ini.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Second Level CMAS Diving License

Beberapa waktu lalu kembali mendpatkan kesempatan untuk melatih skill diving bareng teman-teman teknik. Ini adalah program kelanjutan "naik tingkat" setelah beberapa bulan sebelumnya mengikuti pula pelatihan untuk mengambil basic diving. Sama seperti basic diving yang di dapat dulu, sebelum terjun langsung ke laut, kami digojrot dulu di kolam renang sehari sebelumnya, full dari pagi sampai sore. Dilatih dasar berenang, bernafas, menahan nafas, memasang alat dan lain sebagainya. Yang berbeda untuk second level ini kami mengambil license dari POSSI ( Persatuan Olahraga Selam Seluruh Indonesia) yang menginduk pada organisasi international CMAS (Confederation Mondiale Activities Subacuatiques) sedangkan ketika first  level kami dapat dari SSI(Scuba Skill International). Bedanya apaa?? Saya juga tidak tahu banyak, sedikit penjelasan yang saya tahu bahwa kalau SSI biasa digunakan oleh orang yang ingin menagabil license "hanya" sekedar untuk selam hiburan dan l

Tentang Kelengkapan Laboratorium Hingga Segitiga Ideal

Pernah kah anda menghitung harga satu lembar kertas tissue yang anda gunakan? Kalau belum, coba anda hitung dengan cara membagi harga tissue yang anda beli dengan jumlah helai kertas tissue yang didapatkan. (Ga ada kerjaan amat siih. Hehehe) Hari ini saya menghitung kertas tissue yang ada dalam foto di bawah ini: Kimtech Tissue Tahukah anda berapa harga per lembarnya? Harganya adalaaaahh (jreeeeng jreeng jreeeng) 170 KRW atau jika diasumsikan 1 KRW= 11 IDR maka harganya sama dengan Rp. 1.870,- Ya harganya segitu, jangan heran ya (entah karena kemahalan atau begitu murah, tapi bagi saya sih, Muahaal bingiiit) hehehe. Tissue ini adalah salah satu bahan “sepele” yang digunakan dalam keseharian kami beraktivitas di laboratorium. Kami mengunakannya untuk mengelap beberapa alat praktikum dan beberapa bahan uji yang membutuhkan pengeringan yang baik.Saya menemukannya baru ketika di negeri ini (korea .red), padahal dunia laboratorium bukan lah hal asing bagi saya di Indonesia.

Surface Hardening

Untuk merefresh kembali materi kuliah ketika S1 dulu, saya ingi mengulang kembali beberapa materi yang mungkin nanti akan jadi makanan keseharian saya di laboratorium pengembangan paduan (Alloy Development) di Yeungnam University ini. Materi pertama yang ingin saya review adalah tentang proses pengerasan pada permukaan material. Beberapa hal yang menjadi alasan untuk melalkukan surface treatment diantaranya sebagai berikut : -        Menaikain ketahanan Aus -        Menaikkan kekerasan permukaan hingga sedalam 0,1 -0,5 mm -        Menambah ketahanan permukaan terhadap beban mekanis -        Memperbaiki ketahanan fatik Proses pengerasan pada material dapat dibagi menjadi 2 macam penggolongan yakni pengerasan secara termal/ selective heat treatment dan secara termokimia . Berikut adalah penjabaran dari masing-masing jenis pengerasan tersebut. A. Termal/Selective Heat Treatment Proses selective heat treatment dilakukan dengan beberapa prosedur yakni material ya