Kesan apa yang muncul di kepala anda ketika membaca “Bang Toyib”?
“kalau 3 kali puasa, 3 kali lebaran tak pulang-pulang”, maka anda sama dengan
saya.kkkk. Ya, begitu masyhur dan mencuci otak lagu dangdut yang berjudul bang
toyib, sehingga “ Toyib” yang merupakan nama ayah dari salah satu teman SD
saya, lebih sulit saya ingat wajahnya dibandingkan dengan penggambaran bang
Toyib oleh lagu dangdut tersebut.kkkk
Oke, yang ingin saya curcolkan ditulisan ini bukan tentang
bang Toyib, tetapi tentang perasaan yang (mungkin) dialami oleh bang
Toyib.hehe. Ya perasaan ga pulang-pulang ke rumah ketika puasa dan lebaran. Kesan
yang ingin saya tonjolkan adalah kesan positif, artinya, bang Toyib tidak
pulang ke rumah bukan karena tidak mau pulang ke rumah tetapi karena tidak bisa
pulang ke rumah. Beda pastinya, antara dua frasa “tidak mau” dan “tidak bisa”. Ya,
saya rasa bang Toyib “tidak bisa” pulang ke rumah karena ada kendala pada
dirinya, financial bisa jadi salah satu alasannya.
Lalu, apa hubungannya antara perasaan bang toyib dengan perasaan
saya?? Jawaban dan hubungannya bisa anda rasakan ketika anda tidak berlebaran
di rumah . Dan ditambah jauh dari hingar bingar atmosfer hari raya. Suliit dideskripsikan.heuheuheu
1435 H menjadi tahun pertama dan kali pertama saya tidak
berpuasa dan berlebaran bersama keluarga, sensasi yang sangat luar biasa
terutama ketika di hari lebaran. Sebuah rasa yang baru saya alami hingga
menginjak usia hampir 25 tahun. Sebuah rasa yang menjadi cermin akan banyaknya
nikmat yang ternyata selama ini kurang disyukuri. Ya, selama ini saya (dan
mungkin anda) tidak lah begitu mensyukuri nikmat berkumpul dengan keluarga,
mengaggap biasa moment sahur dan berbuka
puasa dengan keluarga, mengartikan hal wajar bertegur dan bersalaman dengan
para kerabat, saudara dan tetangga ketika lebaran tiba, hanya menjadikan
rutinitas belaka acara buka puasa bersama sahabat lama, dan tidak
mengistimewakan memakan kolak di beberapa hari ketika berbuka puasa serta
hal-hal lainnya yang biasa dilakukan ketika bulan Ramadhan dan Syawal tiba.
Hal-hal tersebut, begitu berharga saya rasakan ketika saya berada jauh dari rumah,
berjarak dengan kerabat dan saudara serta berada di lingkungan yang tak paham
apa itu Ramadhan dan hari raya.
Bulan ramadhan pertama dan hari raya pertama saya di tanah
Korea, Alhamdulillah telah memberikan banyak makna tentang pentingnya kehadiran
keluarga, saudara, kerabat serta sahabat dalam keseharian kita atau paling
tidak disalah satu moment di hari kita. Terkadang saya berfikir, apakah
perasaan tersebut hanya dikarenakan kebiasaan saja, kebiasaan yang biasa saya
lakukan sepanjang Ramadhan dan ketika hari raya selama saya tinggal di dekat
dengan keluarga atau memang sebuah perasaan yang wajar dan dibutuhkan oleh
manusia(?).
Maka dalam perenungan
saya (tsaaah) saya meyakini kalau “ritual” sepanjang “Ramadhan” dan hari raya
adalah ritual yang dibutuhkan secara psikologis oleh manusia. Ya, saat Ramadhan
dan hari raya adalah asupan yang memang harus didapatkan oleh raga dan psikis
kita.
Argument yang mendasari kesimpulan saya adalah adanya
kebutuhan tubuh kita untuk berhenti sejenak dari segala macam aktivitas. Hal
ini bisa diumpamakan seperti ketika kita
butuh istirahat makan siang di hari kerja atau kita
butuh malam untuk beristirahat dari sepanjang aktivitas disiang hari. Maka kitapun
butuh satu waktu untuk lebih mendekat dengan sang Maha Pencipta dari segala
rutinitas, dan satu bulan, yang dinamakan ramadhan, adalah waktu yang diberikan
Allah untuk mendekat setelah 11 bulan lamanya (mungkin) kita berjauhan
denganNya. Sedangkan hari raya adalah masa dimana ketika kita sudah melalui
masa pengasahan untuk dekat dengan Allah sehingga memunculkan rasa lebih baik
hubungannya dengan Sang Pencipta namun kita perlu mengakhirinya dengan merasa
dekat pula dengan sesama manusia. Tak dipungkir ketika hari raya datang kita
seakan menyatu dan memiliki kebahagian yang sama diantara kita, dan kata maaf
begitu mudah terucap sehingga kedekataan begitu menghujam dihari itu.
Maka berbahagialan bagi setiap jiwa yang selalu lengkap
merasakan proses-proses tersebut, dan tetaplah berbahagia bagi jiwa-jiwa yang
merasakan nasib seperti Bang Toyib :D. karena denganya kita bisa belajar dan
merasakan sensasi berbeda tentang pemaknaan ramadhan dan hari raya.
Komentar
Posting Komentar