Membaca judulnya
sepertinya agak menyeramkan ”Militer Vs Sipil” seperti membayangkan sebuah
perang dengan satu pihak bersenjata lengkap dengan panser-pansernya dan dipihak
lain hanya bermodalkan parang, bambu bahkan mungkin cuma batu. Memang tulisan
ini saya sajikan sebagai sebuah paradigma pertentangan atau pertarungan antara
masyarakat sipil dengan militer tetapi tidak dalam ranah perang seperti yang
coba diilustrasikan di awal. Kalaulah konteks perseteruan/Versus antara militer
dan sipil itu dalam ranah perang bersenjata saya akan menjadi orang pertama
yang akan mengatakan bahwa sipil menjadi pihak paling tertindas dan memastikan
diri bahwa mereka akan kalah, setidaknya jika dilihat dari segi jumlah korban.
Dan semoga kejadian seperti itu tidaklah pernah terjadi di Indonesia. Cukuplah kasus Cebongan menjadi kasus terakhir
“kekejaman” militer terhadap sipil. Tidak terbayangkan jika konflik seperti
yang terjadi dalam pertumpahan darah di Mesir terjadi juga di Indonesia. Sekali
lagi semoga ini tidak terjadi.
Dinamika
pertarungan antara Militer Vs Sipil yang menarik untuk dibahas adalah “pertarungan
sehat” untuk mendapatkan kekuasaan. Kita pastinya sudah paham tentang sistem
pemerintahan yang otoriter, yakni
pemerintahan yang diatur sangat keras dengan komando satu arah dan cenderung
adanya pemaksaan. Sistem yang berlawanan dari sistem otoriter ini adalah sistem
demokrasi, sistem yang menganut kebebasan dan menjunjung tinggi Hak Azasi Manusia
(HAM) sebagai instrument penting di dalamnya. Dalam pertarungan antara Militer
dan Sipil , militer dalam catatan sejarah diberbagai negara adalah kelompok
yang cenderung dalam kepemimpinannya menerapkan sistem militer sedangkan sipil
adalah bagian yang selalu memperjuangkan sistem demokrasi untuk diselenggarakan
dalam menjalankan sistem negara.
Di Indonesia
sistem yang dinilai otoriter pernah terjadi ketika era Orde Baru (OrBa),
kecenderungan paling terlihat dari otoriternya rezim orba adalah pada aktivitas
pemilihan umum (Pemilu), ada sebuah kejadian yang sangat mencengangkan pada
pemilu 1997 dimana di provinsi Timor Timur hasil pemilu memenangkan partai
penguasa yakni partai Golkar hingga 100% sehingga hasil ini harus dianulir
karena akan menyebabkan tidak berjalannya sistem pemerintahan yang sesuai
dengan perundang-undangan yang berlaku ketika itu, yakni mengharuskan
legislatif setidak-tidaknya harus diisi oleh perwakilan dari partai lain yakni
PPP dan PDI. Hasil pemilu yang mencapai 100% adalah bukti nyata betapa
tangan-tangan penguasa dalam hal ini militer begitu sukses berperan bahkan bisa
dikatakan over succsess.
Hari ini,
Indonesia telah mengalami proses perubahan sistem kepemimpinan. Struktur
otoriter yang telah berjalan selama lebih dari 30 tahun digantikan dengan
sistem demokrasi yang berawal di
tahun 1998 melalui gerakan reformasi. Demokrasi yang berjalan di Indonesia
merupakan hasil dari upaya sipil dalam melawan kekuatan otoriter yang digawangi
oleh militer. Demokrasi yang sekarang dirasakan di Indonesia dinilai masih
berada dalam tahapan penyusunan mencapai demokrasi yang ideal. Di dunia ini,
negara yang dinyatakan sebagai negara yang telah berhasil menerapkan demokrasi
secara ideal adalah United State of America (USA). Amerika dalam perjalanan menuju demokrasi yang
ideal ternyata tidaklah mulus – mulus saja, karena mereka harus melaluinya
dengan berbagai masa diantaranya masa dimana ketidakadaan hak pilih bagi wanita,
masa perbudakaan hingga masa peperangan saudara. Rentang waktu yang dibutuhkan USA
untuk mencapai demokrasi ideal pun relatif lama yakni 120 tahun semenjak
dideklarasikannya kemerdekaan negara tersebut. Dalam sebuah penelitian
dikemukakan bahwa sebuah negara dinilai akan mencapai tahap ideal dalam
berdemokrasi setidaknya membutuhkan waktu 200-300 tahun untuk menyusunnya.
Dalam study lain dijelaskan bahwa demokrasi dapat diraih secara ideal dengan
melalui 7 kali pemilihan umum dimasa demokrasi. Jika kita gunakan hasil
penelitian ini kedalam sejarah Indonesia maka demokrasi ideal yang dapat
dirasakan di indonesia adalah ditahun 2145 (1945 +200) atau 2024 ( 1999 + 5 x7).
Perjalanan yang sepertinya sangat panjang untuk mencapai sebuah keidealan dalam
proses bernegara.
Kembali ke tema
tentang pertarungan Sipil Vs Militer di Indonesia, di era reformasi seperti
sekarang ini militer indonesia bagaikan sebuah naga yang sedang menyembunyikan
api dan cakar yang dimilikinya. Hal ini merupakah hasil dari upaya yang coba
dilakukan oleh sipil dari gerakan reformasi tahun 1998 hingga sekarang yang
mencoba mengikis peranan militer dari tugasnya diluar keprofesionalnya sebagai
seorang militer. Ciri militer yang profesional adalah militer yang memiliki Paham
humanisasi, tidak berpolitik dan tidak berniaga. Masih segar diingatan kita
dengan istilah Dwifungsi ABRI pada era orde baru dimana ABRI memiliki fungsi
sebagai militer dan juga legislatif (berpolitik). Dengan peran ganda ABRI
(militer) kita merasakan sendiri betapa militer mendominasi jalannya
pemerintahan diberbagai sektor publik dan berdampak pada rentannya
penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh militer tersebut.
Yang menarik lagi
terkait pertarungan Sipil Vs Militer adalah upaya-upaya apa saja yang dilakukan
oleh sipil untuk “mengembalikan” fungsi militer ke tugasnya yang sesuai agar
tercipta negara yang demokratis dan terhindar dari kepemimpinan yang otoriter.
Menurut Pak Andi Widjajanto, setidaknya ada dua gelombang besar sipil yang
mencoba “mempengaruhi” kekuatan militer yakni gelombang yang bersama Polisa dan
gelombang yang bersama mempengaruhi TNI. Di gelombang yang mempengaruhi TNI ada
dua kekuatan yang coba disusun yakni kekuatan yang mencoba mengontrol dari luar
dan kekuatan yang coba mempengaruhi dari dalam. Kekuatan yang mencoba
mengontrol dari luar menurut beliau ada dalam tubuh-tubuh LSM seperti KONTRAS dan
lembaga-lembaga lain yang bereperan mengawasi, mengkritisi dan mencoba
mepraperadilkan tindak-tanduk militer yang melanggar atau diluar tugas
semestinya. Sedangkan unsur dari dalam yang mencoba mempengaruhi militer
terdiri dari para akademisi yang melakukan beberapa aktivitas pembatasan peran
militer dengan sewajarnya melalui mekanisme konstitusi yakni pembuatan Undang –
Undang yang mengatur kemiliteran. Selain itu, upaya para akademisi dalam
mempengaruhi militer juga dilakukan direct
ke jantung militer yakni melalui kurikulum pengajaran pendidikan militer.
Pertarungan
militer dan sipil sepertinya sangat menarik untuk selalu kita perhatikan
khususnya di negara kita ini, karena kepentingan untuk berkuasa selalu ada dan
tumbuh dari kedua bela pihak. Sistem otoriter dengan militer sebagai otak
pelaksana yang pernah menjadi bagian dari sejarah negara ini sepertinya tidak
ingin diulang kembali, begitu pun jika melihat dari sisi militer yang mencoba menjadi militer profesional tetapi
tetap saja suatu saat bisa kembali menyemburkan api dan mengeluarkan cakarnya
untuk memaksakan kekuasaan di negeri ini.
Komentar
Posting Komentar