Kemarin, kamis malam atau dalam kaidah penanggalan hijriah sudah bisa disebut hari jumat, karena dalam kaidah hijriah awal hari di mulai ba’da maghrib, saya menelfon Mimi (panggilan saya untuk Ibu). Sudah hampir seminggu sepertinya saya tidak ngobrol ngalor – ngidul dengan Mimi. Ada saja alasan yang menyebabkan ketika saya atau Mimi menelfon atau mem-video call, telfonnya atau video nya ga tersambung. Paling sering sebabnya adalah karena waktu nelfonnya yang kurang pas. Saya telfon, Mimi sedang di mushollah. Mimi nelfon, saya sudah tidur. Walhasil malam jumat tadi, hampir satu jam dihabiskan untuk ngobrol. Mulai dari nyeritain Si Anu yang mau dikhittan, Si Itu yang sekarang kerja di kota A, sampai ngomongin pohon – pohon kelapa yang ada di belakang rumah. Kalau bukan karena adzan maghrib di Cirebon yang sudah berkumandang, mungkin obrolan kita akan lebih banyak lagi. Obrolan yang paling sentimentil adalah ketika ditanya “Hib, jadi berapa lama lagi (kuliah) di Korea nya?”. Jawabannya
2020 menyisahkan kurang lebih 40 jam sebelum ditutup dan diganti dengan kalender baru tahun 2021. Tepat pukul 14.00 kami sampai di sebuah tempat yang tidak asing bagi kami, karena setidaknya kami pernah mengunjunginya 2 tahun sebelumnya. Baekje Cultural Land nama tempatnya. Sebuah tempat bersejarah yang pernah menjadi ibukota dari kerajaan Baekje yang berdiri lebih dari 2000 tahun lalu. Di era modern sekarng ini, lokasi kerajaan Baekje kini terletak di Kota Buyeo. Kota di bagian barat Korea Selatan. Kami datang ke tempat ini dalam rangka mengejar salju agar bisa “salju – saljuan”. Saya pernah menulis perenungan tentang “kesaljuan” di sini . Kata kesaljuan adalah kata yang saya gunakan untuk menggambarkan kondisi “terguyur” salju secara tidak sengaja ketika sedang melakukan perjalanan. Sama persis dengan kata ke-hujan-an, karena memang dari kata kehujanan inilah saya menamakan kondisi ketika itu dengan kata kesaljuan. Ketika menulis perenungan kali ini, tulisan itu ingin saya sempur