Aaah Nampak lebay sekali judul di atas, tapi tak apalah
karena seperti jargon di blog ini, apapun yang terlintas, itu yang ingin
diungkapkan. Hehehe. Berawal dari beberapa hari lalu melihat video eksklusif interview
bapak presiden kita, Jokowi Dodo, dengan Kompas TV dan barusaaaan saja selesai mendengar rangkaian ceramah
dari Dai’ muda Amerika, Mufti Hussain Kamani, tetiba langsung pengen berceloteh.
Hehehe
Jadi kalau yang belum nyambung, berikut video yang saya
maksud :
Video ini menuai banyak ragam tanggapan, kalau yang nyangkut
di telinga dan penglihatan saya sih, lebih banyak yang mencela karena dinilai sisi
kenegarawaanan seorang jokowi begitu tak terlihat dalam wawancara tersebut. Bahkan satu komentar yang
ada di media social yang bikin saya” senyum-senyum” berbunyi seperti ini “Semoga Alloh melimpahkan taufiq kepada beliau utk bisa
memimpin negara dg lebih baik atau menggantinya dengan yg lebih baik sesegera
mungkin”. Hmm sebuah doa baik yang diikuti sebuah
pengharapan yang saya pahami maknanya karena beliau bukanlah pendukung jokowi
ketika pilpres lalu.:D
Anyhow...Apapun komentar nya, saya
pribadi ketika pertama kali melihat video tersebut yang saya lihat adalah kerut
dahi beliau. Entah apa yang bisa diterjemahkan dari kerutan tersebut yang jelas
saya begitu terpaku pada raut wajah beliau dan seketika saya teringat dengan kawan
satu kontrakan dulu ketika awal-awal kuliah S1. Kawan saya adalah orang Solo
yang kala itu masih lugu dan belum terkontaminasi dengan gaya bicara orang Jakarta
sehingga begitu meddhok bilang “Gguwee” dan ketika berbicara “alon-alon” sekali
sehingga membuat saya harus menyabarkan
diri dan baru bisa beradaptasi kurang lebih satu semester dengan gaya kawan
saya tersebut. :D Saya tidak terlalu tertarik membahas isi yang disampaikan jokowi dalam
wawancara tersebut saya hanya tertarik
dengan gaya beliau bertutur.
Laluu apa kaitannya Video
wawancara Jokowi dengan Musa AS dan
Harus AS, Yaaa video dibawah ini mengingatakan saya pada kisah yang dulu pernah
disampaikan guru ngaji di mushollah di kala sarung adalah pakaian wajib saya
dari maghrib sampai shubuh :D
Seperti yang disampaikan oleh
Mufti Hussain Kamani dalam video tersebut, salah satu tujuan diturunkannya Harun dan dijadikannya
Rasul sekaligus teman seperjuangan Musa adalah karena Musa tak pandai bercakap.
Lidahnya mengalami “kecelakaan” sehingga kefasihannya dalam berucap berkurang.
Oleh karena itu, Musa memohon kepada Allah agar mengutus orang
lain untuk menjadi rekannya berdakwah dan menutupi kekurangannya yakni cakap
dalam bertutur. Sampai disini neuron dan syaraf motorik saya tetiba bergeliat
saling bergetar mengirimkan electron-electron dan mensinkronkan dengan perkara lain
yang sedang hangat berputar dalam otak. Yaaaaa tutur kata jokowi.
Entah ini adalah akibat
sinkronisasi neuron dan syaraf motorik di otak yang terlalu agresif dan terlalu sensitif atau justru
karena sangat tidak teratur sehingga harus membandingkan dua kejadian
tersebut. Yang jelas tutur kata pak presiden kita belum dapat mendirikan bulu
kuduk layaknya Soekarno, pun jika kita bandingkan dengan Obama, karena katanya
Jokowi adalah obama nya Indonesia, maka orator ulung masih lah jauh untuk
predikat presiden kita. Maka jika lidah sendiri tak mampu memberikan energy tambah
untuk menyampaikan dan menggerakkan kebaikan mungkin lidah sahabat nan
dipercaya layaknya Harun bagi Musa patut dicari oleh Jokowi.
Dulu, ketika kampanye pilpres
saya sangat takjub dengan komposisi yang digunakan oleh tim sukses Jokowi yakni
menjadikan Anies Baswedan sebagai Juru Bicara. Al-hasil tak dipungkiri, corong
kampanye dari jokowi melalui Anies Baswedan mampu membuat kontribusi dalam
perolehan suara pasangan no.2 ini. Kalau ga percaya salah satu yang menjadi premis
saya membuat kesimpulan itu adalah di ajang debat dalam acara Mata Najwa
berikut.
Oke, terlepas dari hasil
sinkronisasi syaraf motorik dan neuron-neorn dalam otak akibat melihat 2 video
teratas dalam tulisan ini, ketika merangkai kata untuk mengakhri tulisan ini pun tetiba saya
teringat dengan sebuah diskusi dalam forum pelatihan kepemudaan yang
dulu pernah saya diikuti, dimana ketika itu mebahas cara presiden SBY berkomunikasi yakni
dengan “Diam” dan dikesankan “Peragu” mungkin anda juga ingat masa itu. Yang menarik
dalam diskusi tersebut adalah opini dari kawan saya yang mengatakan bahwa, diam
adalah pilihan berkomunikasi yang SBY pilih pun juga kesan peragu merupakan
gaya yang beliau pilih untuk berkomunikasi dalam dunia perpolitikan, terlepas plus
minus yang akan belaiu terima dengan memilih gaya itu.
Yang jelas kita juga bisa membandingkannya sekarang
dengan Jokowi dan coba ikut menebak-nebak, selanjutnya seperti apa komunikasi yang dilakukan jokowi. Perlu dinanti! Yang jelas
jika Musa yang kuat yang dengan sekali pukul (yang tidak sengaja) dia dapat
membunuh orang, begitu jujur membutuhkan rekan yang fasih bertutur untuk
membantunya, maka kita pun boleh menebak apakah cocok dan layak jokowi yang
dinilai belum fasih bertutur memilih “Harun” untuk menemaninya atau justru
dengan gaya komunikasi yang sekarang digunakan, beliau akan mempertahnkannya hingga (mungkin)
setidaknya 5 tahun ke depan. Mari kita lihat seksama :)
Komentar
Posting Komentar