Bismillah,eehhwuuuuhhhssss
(tarik nafas , buang pelan-pelan). Begitu kondisi saya sebelum merangkai huruf
demi huruf dalam tulisan ini. Tak cukup sekedar bismillah tapi harus didorong
pula dengan ketenangan diri dalam wujud mengatur irama nafas. Apa sebab? hingga
seakan begitu didramatisir perasaan yang saya rasakan ketika membuat tulisan
ini. Tidak lain dan tidak bukan adalah tersebab kasus Polri Vs KPK (terulang
lagi).
Ya,
setelah selesai sholat Jumat siang ini sambil menyantap makan siang hasil
olahan sendiri, saya membuka media social, terkejut saya membuka salah satu
berita yang di-share-kan oleh salah seorang teman tentang penangkapan pimpinan KPK oleh POLRI.
Dengan reflex yang begitu cepat, (mungkin lebih cepat daripada kecepatan cahaya
di ruang hampa) Saya beristighfar dengan saaaaangaaaat “ khusu’ ” setelah
selesai membaca berita tersebut.Huuuuuuuh. Jikalau saya bisa menangis maka
mungkin saya ingin menangis di moment ini. Entah apa yang anda pahami dari
kasus ini, mungkin sama dengan rekan-rekan yang getol menyuarakan #SaveKPK atau
mungkin juga anda memiliki analisa sebaliknya, bagi saya pribadi jika boleh
mengibaratkan kasus ini, maka saya seperti sedang menyaksikan sebuah anekdot yang tidak lucu yang dibuat
seseorang tapi di dalam upaya melucu itu dia tega mencederai dan melukai temannya.
Ya, seperti anekdot, seperti lawak, seperti guyonan yang bukannya menghasilkan
tawaan tetapi kekecewaan dan tangis kesedihan.
Di
luar tafsiran kepentingan dan unsur-unsur lainnya dalam kasus ini, ada rasa
lain dan jauuuuh lebih saya ingin tangisi yakni “Apa yang bisa saya lakukan
untuk negeri kita tercinta”. Sembari melanjutkan makanan yang sudah habis rasa
nikmatnya karena didahului menelan berita menyesakkan ini, saya berfikir apa
langkah yang bisa saya kontribusikan untuk ikut serta “memperbaiki” negeri kita.
Mungkin terlalu jauh dan naïf pembahasaannya, sama naifnya jika saya harus menunggu untuk ikut andil di
dalam masalah ini ditataran orang elit negeri kita, pun juga tidaklah menjadi
konsen saya untuk ikut andil menyuarakan dijalanan seperti perjuangan
rekan-rekan lainnya, bahkan mungkin sekedar membuat tulisan beropini pun akan
tidak begitu besar efeknya karena saya bukanlah orang yang pintar beropini
melalui tulisan. Maka saya pun hanya kembali beristighfar, menangisi
ketidakmampuan saya untuk ikut andil membuat hal bagi negeri kita tercinta.
Hingga
suapan terakhir makan siang hari ini, saya masih coba mengikuti informasi kasus
ini dari berbagai portal berita hingga akhirnya seperti ada bisikan dalam hati,
“Mari langkahkan kaki ke Masjid, mari mohon ampunan dan pertolongan-Nya, mari
lakukan sesuatu untuk bangsamu, mari jadikan momentum ini sebagai penghayatan
kecintaanmu kepada negerimu walaupun “hanya” sebatas doa kepada Rabb-mu”.
Jika
selemah-lemahnya sebuah ajakan menuju kebaikan “hanyalah” mendoakan orang yang
kita ajak maka mudah-mudahan doa bagi negeri kita tercinta adalah wujud
selemah-lemahnya cinta kita terhadap negeri kita. Oleh karena itu, MARI KITA
BERDOA UNTUK NEGERI KITA TERCINTA.
Meskipun saya sendiri menyadari doa saya
pribadipun bukanlah doa orang-orang baik yang begitu mudah diterima dan dikabulkan oleh-Nya. Jika boleh
meminjam sebuah idiom, hingga hari ini pun “Istighfar saya masih perlu
diistighfari” namun mudah-mudahan doa-doa tulus kita untuk negeri tercinta akan
menjadi doa yang diutamakan pengkabulannya oleh-Nya.Aamiin
Terlepas
dari ketidakberdayaan saya dalam menyikapi hal-hal yang menjadi pusat perhatian
di negeri kita tercinta, seperti kasus KPK Vs POLRI ini, saya terkadang
merenung dan terinspirasi dari salah satu tingkahlaku Ibu saya. Yaa Ibu saya.
Beliau memiliki kebiasaan yang mungkin bagi sebagian orang adalah sesuatu yang
aneh, yakni membersihkan toilet dimanapun beliau berada. Yaaa toilet, tempat
kita membuang sesuatu yang menjijikan dari tubuh kita. Menjadi wajar seandainya
toilet yang dibersihkan adalah toilet di rumah sendiri tetapi menjadi
(di)aneh(kan) ketika yang dibersihkan adalah toilet-toilet umum seperti toilet di
Rumah Sakit misalnya. Yaa ibu membersihkannya karena “kecintaan” beliau pada
bersihnya sebuah toilet.
Belajar
dari rasa cinta ibu terhadap toilet bersih itu, ingin rasanya gen itu terturun
pada diri saya sehingga sifat dan kecintaan itu bisa saya terapkan dalam diri
saya, tidak hanya dalam ranah mebersihkan toilet tetapi juga “membersihkan”
hal-hal lainnya. Ujung dari tulisan ini pun seperti sebuah azzam, sebuah niat, sebuah
keinginan, sebuah mimpi, sebuah tekad (yang sedang bergerak) membulat untuk
suatu ketika menshodaqohkan diri ini untuk bergerak di bidang bersih-bersih
tersebut. Entah hanya sekedar pembersih
gedung kepresidenan agar presiden dapat bekerja dengan baik dan para wartawan
bisa lebih nyaman meliput kegiatan presiden atau hanya menjadi pembersih gedung
wakil rakyat agar para anggota dewan bisa leluasa bersidang dan tidak
harus membolos karena tidak nyamannya gedung yang dulu katanya sudah tidak bagus
dan ingin direnovasi itu. Semoga ada yang mengamini azzam, niat, keinginan,
mimpi dan tekad ini hingga didengar dan dikabulkan oleh-Nya. Aamiin
Tidak mau mengamini Rohib jadi pembersih gedung. Aamiin untuk Rohib jadi 'pembersih mental' para wakil rakyat itu. Lanjutkan gan! Mantap sekali tulisan-tulisan anda.
BalasHapusHehehe..Terimakasih Mba Yuli udah didoain semoga terkabul doanya, apalaagi bulan Ramadhan nih didoainnya :D.
Hapus