Terkisah pada suatu masa dua
sejoli telah menetapkan hari agung yang akan menjadi tonggak sejarah sepanjang
hidup mereka. Hari agung yang didambakan oleh setiap makhluk bernyawa yang
dianugerahi-Nya rasa cinta, hari agung yang membawakan kegembiraan bukan hanya
untuk dua manusia tapi juga dua keluarga, hari dimana manjadi hari pentasbihan
Sang Gagah menjadi raja dan Si Jelita menjadi ratunya. Hari pernikahan, kita
menyebutnya.
Diceritakan hari agung itu
berjarak lebih dari 4 bulan lamanya dari masa pertemuan pertama antara dua
sejoli tersebut. Sebuah pertemuan yang dimotori oleh seorang yang menjadi
teladan bagi keduanya. 4 bulan adalah masa penantian yang tidak sebentar bagi Si
Jelita karena dalam dirinya telah tumbuh benih harap untuk segera dididik menjadi rekan yang siap menemani dalam
pelayaran mengarungi lautan dunia. Namun bagi Sang Gagah, menyiapkan diri
menjadi nahkoda yang tangguh dan menyiapkan segala perbekalan untuk berlayar,
menjadikan rentang 4 bulan adalah
perkara yang tidak bisa dibilang lama. Terlepas dari itu, 4 bulan adalah sebuah
masa yang indah karena disetiap detik penantian dan disetiap langkah peluh yang
mereka korbankan selalu diguyur dengan sebuah semangat. Sebuah semangat yang
namanya kita sebut dengan rindu dan cinta.
Tersebutlah berbagai
peristiwa agung mewarnai masa penantian selama 4 bulan itu, peristiwa –
peristiwa bersejarah yang tidak hanya mengisyarat akan keagungan cinta suci
keduanya tetapi juga akan menjadi contoh manis bagi penurusnya kelak. Pada
suatu ketika, Sang Gagah tak sengaja hampir berpapasan dengan Si Jelita di
sebuah jalan menuju rumahnya. Dari kejauhan, Sang Gagah dengan jelas melihat
akan datangnya Si Jelita bersama rekan-rekannya menuju ke arah dimana dia
berada. Namun Si Jelita tak sedikut pun menyadari keberadan Sang Gagah di
depannya dan dia pun tak mengetahui kalau dia sedang diperhatikan oleh sang
terkasih. Dengan hati berdebar Sang Gagah pun mengayuh sepeda ontelnya dengan
semangat rasa cinta yang sedang tumbuh memekar di dalam dadanya. Tapiiiii tahukah anda, kemana Sang Gagah
itu mengayuh sepedanya? Dia mengayuh
sepedanya menjauh dari arah datangnya Si Jelita, Dia menghidar demi menjaga
cinta suci yang sedang mekar di dadanya, Dia bergerak berlawanan arah menuju
rumah karena dia tahu cinta suci adalah sebuah perlawanan, perlawanan akan
sebuah nafsu yang menghalalkan sebuah keharaman.
Di lain masa dalam rentang
waktu yang sama, 4 bulan masa penantian, setelah Sang Gagah berhasil membujuk
Sang Ipar untuk membersamainya, dia memberanikan diri beranjang menuju istana
Si Jelita. Dengan bermodalkan buah tangan yang dibawanya untuk Sang Ayah Si
Jelita, Sang Gagah mencoba meyakinkan Keluarga Si Jelita akan persiapan hari
agung yang telah dijanjikan. Kisah cinta suci itu pun kembali tertorehkan pada
moment ini. Diceritakan, ketika itu tak ada masa dimana Sang Gagah bisa
becengkrama panjang lebar dengan Si Jelita kecuali hanya ucapan “silahkan di minum air nya!” dan dijawab
dengan kalimat sederhana oleh Sang Gagah “Terimakasih.”
Selebihnya Si Jelita meningglkan meja percakapan itu dan menunggu dengan cemas
dibalik bilik, sembari berharap Sang Ayah akan menceritakan apa-apa yang telah
diperbincangkan dengan Sang Pujaan hatinya. Pun begitu ketika Si Jelita
membawakan hasil racikan dapurnya untuk Sang Gagah dan keluarga besarnya, dia
dipilihkan waktu oleh-Nya untuk selalu tidak berpapasan dengan Sang Gagah baik
dijalan menuju rumahnya maupun ketika sudah berada di rumah Sang Gagah. Setiap
kali Si Jelita berkunjung ke rumah Sang Gagah, dia hanya bercengkrama dengan
calon Ibunda barunya atau dengan calon saudara – saudaranya. Sebuah moment yang
telah dipilihkan oleh-Nya untuk menjaga kesucian cinta yang mereka tumbuh dan
kembangkan bersama.
Hari ini, 38 tahun sudah Sang Gagah dan Si
Jelita bersama mengarungi lautan kehidupan ini, bahtera yang semakin kokoh dan
meriah dengan hadirnya 5 anak buah kapal dan lebih dari 4 awak kapal baru yang
siap mewarnai setiap perjalanan bahtera ini. Sebuah bahtera yang selalu dinaungi
awan cinta dan kerinduan akan keridloan-Nya dalam setiap dayungannya hingga
menuju tempat berlabuhnya kelak.
Maka di akhir tulisan ini
izinkan saya meperkenalkan dua sejoli itu. Dua sejoli yang akhir – akhir ini
sering mendengungkan kepada saya tentang kisah – kisah cinta sucinya, kisah –
kisah di masa penantian hari agung itu dan juga tentunya kisah – kisah selepas
hari agung yang mereka rayakan, dengan sebab agar saya bisa memetik pelajaran
darinya. Ialah mereka Mimi (Ibu) dan Mama (Ayah) kami.
Mama dan Mimi ( foto diambil: 4 Syawal 1435 H) |
Sang Gagah dan Si Jelita bersama 5 buah anak kapal, 4 awak kapal baru dan my beloved uncle and auntie |
Tulisan ini terinspirasi dari situasi yang sedang berlangsung hari ini yang sedang dirasakan oleh salah satu dari 5 anak buah kapal di bahtera kami. Oleh karena itu, tulisan ini saya dedikasikan untuk Adik ku tercinta. Teruntuk Adik Ku, tak ada yang lebih nikmat bagi seorang yang berpuasa dibandingkan berbuka pada
masanya, tak ada masa penantian yang paling khidmat yang akan menorehkan kisah
dalam sejarah hidup kecuali masa penantian penghalalan bagi dua insan yang
terikat cinta. Semoga kita ( Saya dan Adinda) bisa meneruskan tinta emas yang
telah Ayah dan Bunda torehkan sebagai contoh manis untuk Kita ikuti. Aaamiiin
Aamiin Ya Rabbal'alamiin..
BalasHapusThank you for reminding and advise me , it could still be a good example for me , a wise and inspiring ({})😘😂
Baarakallahu Lanaa ♥♥♥